Wednesday, November 16, 2016

MAKALAH TUNA LARAS

BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Anak Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol social.[1] Menurut Undang-Undang pokok pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 anak tunalaras adalah individu yang mempunyai tingkah laku menyimpang atau berkelainan, tidak memiliki sikap, melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma social dengan frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi terhadap kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[2]
Menurut T.Sutjihati Somantri, anak tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.[3] Jadi yang dimaksud anak tunalaras adalah anak yang tidak dapat mengontrol emosinya dengan baik sehingga melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat.
B.  Faktor-Faktor Penyebab Anak Tunalaras
Faktor penyebab tunalaras harus ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang bukan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan memberikan pelayanan bagi anak tunalaras. Factor-faktor penyebab tunalaras dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu factor internal dan eksternal.
1.    Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang langsung berkaitan dengan individu itu sendiri seperti:
a.    Keturunan
Keturunan memberikan banyak bukti bayi yang dilahirkan dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang abnormal pula. Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang tuanya memberikan konstribusi ketunalarasan kepada generasi berikutnya. Beberapa perilaku menyimpang tersebut diantaranya kawin sedarah, seks maniak, alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.[4]
b.    Psikologis
Meier dalam penelitiannya, menghubungkan antara variabel frustasi dengan perilaku abnormal memperoleh kesimpulan bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan menimbulkan perasaan frustasi. Akiat frustasi tersebut akan timbul konflik kejiwaan. Bagi individu yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Bagi mereka yang memiliki kepribadian neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya, timbul perilaku menyimpsng sebagai defence mechanism. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya agresivisme (suka memberontak, mencela, memukul, merusak), regresivisme (perilaku yang kekanak -kanakan), resignation  (perilaku yang kehilangan arah karena ketidak mampuan mewujudkan keinginannya karena tekanan otoritas).[5]
c.    Kondisi Fisik
Menurut Gunzburg menyimpulkan bahwa disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan. Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi tenaga seseorang. Bila terus-menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat berupa kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan baik berupa kebutuhan fisik-biologis maupun kebutuhan psikisnya.
d.   Masalah Perkembangan
Erikson menjelaskan bahwa setiap memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi mengatasi krisis ini, maka perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat mnyesuaikan diri dengan lingkungannya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan masalah tersebut  maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku. Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini disebabkan oleh karena anak yang sedang menemukan ‘aku’-nya. Anak jadi marasa tidak puas dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak, misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.
2.    Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah factor yang berasal dari luar individu itu sendiri, seperti:
a.       Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam keluarga pula anak memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada anak. Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan ganguan emosi dan tingkah laku, diantaranya yaitu: kurangnya Kasih sayang dan perhatian orang tua, kurangnya keharmonisan dalam keluarga, dan ekonomi yang tidak baik.
b.      Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, tetapi sekolah juga bertanggung jawab membina kepribadian anak didik sehingga menjadi individu dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi penyebab timbulnya gangguan tingkah laku pada anak akibat hubungan sosial guru dan murid yang krang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat perkembangan anak, hubungan antarteman sebaya yang kurang baik.
c.       Masyarakat
Menurut Bandura, salah satu hal yang nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-pengaruh yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang tidak sesuai dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai fasilitas tontonan dan hiburan yang tak tersaring oleh budaya lokal.[6]
C.   Cirri-Ciri Anak Tunalaras
Berikut ini beberapa cirri dari anak yang menderita tunalaras:
1.    Berani melanggar aturan yang berlaku/ melanggar norma susila/ norma sosial/ norma hukum
2.    Mudah emosi atau mudah terangsang emosinya (emosional)/ mudah marah
3.    Sering melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu[7]
4.    Cenderung pembangkang
5.    Sering bolos dan cenderung prestasi belajar dan motivasinya rendah.
6.    Pendendam
7.    Over sensitive(rendah diri yang berlebihan, mudah tertekan, menarik diri dari pergaulan)
8.    Suka mencela, dan
9.    Sering berkelahi atau bentrokan[8]
D.  Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesulitan dalam menysuaikan diri dan anak yang mengalami kesulitam dalam penyelesaian sosial.
  1. Anak yang mengalami kesulitan dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
a.    The Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu. Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b.    Children arrested at a primitive level of socialization, anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan kearah sikap sosial yang benar dan telantar dari pendidikan, sehingga ia melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c.    Children with minimum socialization capacity, anak kelompok ini tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
  1. Anak yang mengalami gangguan emosi, terdiri dari:
a.    neurotic behavior, anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan mudah dihinggapi perasaan sakit hati, perasaan cemas, marah, agresif dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain seperti mencuri dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor. Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
b.    children with psychotic processes, anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri. Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras dan obat-obatan.[9]
E.  Pendidikan Anak Tunalaras
Bentuk pendidikan anak berkebutuhan khusus tunalaras dapat diselenggarakan di SLB khusus untuk anak tunalaras yaitu (SLB-E). Dalam pelaksanaannya, macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan anak berkebutuhan tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku adalah sebagai berikut.
  1. Penyelenggaraan bimbingan serta penyuluhan di sekolah regular. Misalnya saja di sekolah regular terdapat murid atau anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan atau gangguan emosi maka para pembimbingharus segera memperbaikinya. Mereka masih tetap tinggal di sekolah tersebut bersama-sama dengan kawannya di kelas, namun anak tunalaras tersebut akan perhatian dan juga layanan khusus.
  2. Menyediakan kelas khusus bagi anak berkebutuhan khusus tunalaras jika mereka perlu belajar terpisah dari teman-temannya satu kelas. Kemudian, pembimbing dapat mempelajari gejala-gejala gangguan emosi maupun gangguan perilaku yang dialami anak. Kelas khusus tersebut ada pada setiap sekolah dan juga masih merupakan bagian dari sekolah tersebut. Kelas khusus bagi anak tunalaras tersebut dipegang oleh seorang pendidik dengan latar belakang PLB atau pembimbing maupun penyuluh yaitu seorang guru yang cakap dan mampu mendidik anak berkebutuhan khusus tunalaras.
  3. Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian tunalaras tanpa asrama yang ditujukan untuk anak berkebutuhan khusus tunalaras yang proses belajarnya perlu dipisahkan dengan teman yang lainnya karena gangguan emosi dan gangguan perilaku yang dialaminya sudah cukup berat atau bahkan merugikan teman seusianya.
  4. Sekolah dengan asrama. Sekolah ini ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang kenakalannya sudah terlampau berat, sehingga mereka harus dipisahkan dengan teman maupun orangtua mereka. Oleh sebab itulah mereka harus dikirim ke asrama untuk mendapatkan pendidikan. Hal ini juga bermaksud agar anak secara kontinyu bisa terus mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Adanya asrama untuk anak berkebutuhan khusus tunalaras adalah sebagai keperluan penyuluhan.
Tujuan diselenggarakannya pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak berkebutuhan khusus tunalaras agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan serta keterampilan sebagai pribadi ataupun anggota masyarakat dalam menggalakkan hubungan timbale balik antara lingkungan sosial budaya maupun lingkungan.[10]




[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras
[2] Mohammad effendi, pengantar psikopedagogik anak berkelainan. 2009. PT Bumi Aksara. Jakarta, h. 143
[3] http://anandapriadmajha.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-anak-tuna-laras.html
[4] Mohammad Efendi. Pengantar Psikopedagogik….h. 148
[5] Ibid,.. h. 149
[6] http://windaeka-k5113078-plbuns13.blogspot.co.id/2013/11/faktor-faktor-penyebab-ketunalarasan.html
[7] Aqila Smart. Anak Cacat Bukan Kiamat. 2010. Katahati. Yogyakarta.
[8] Mohammad Efendi. Pengantar Psikopedagogik….h. 160
[9] Ibid,..h. 53-55
[10] https://bisamandiri.com/blog/2014/11/pendidikan-khusus-untuk-anak-tunalaras