BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Anak Tunalaras
Tunalaras adalah individu yang
mengalami hambatan dalam mengendalikan emosi dan kontrol social.[1] Menurut Undang-Undang
pokok pendidikan Nomor 12 Tahun 1952 anak tunalaras adalah individu yang
mempunyai tingkah laku menyimpang atau berkelainan, tidak memiliki sikap,
melakukan pelanggaran terhadap peraturan dan norma-norma social dengan
frekuensi yang cukup besar, tidak atau kurang mempunyai toleransi terhadap
kelompok dan orang lain, serta mudah terpengaruh oleh suasana, sehingga membuat
kesulitan bagi diri sendiri maupun orang lain.[2]
Menurut T.Sutjihati Somantri, anak
tunalaras sering juga disebut anak tunasosial karena tingkah laku anak ini
menunjukkan penentangan terhadap norma-norma sosial masyarakat yang berwujud
seperti mencuri, mengganggu, dan menyakiti orang lain.[3]
Jadi yang dimaksud anak tunalaras adalah anak yang tidak dapat mengontrol
emosinya dengan baik sehingga melanggar norma-norma yang ada dalam masyarakat.
B. Faktor-Faktor Penyebab Anak Tunalaras
Faktor penyebab tunalaras harus
ditelusuri untuk memberikan pemahaman yang bukan mempermudah dalam usaha menanggulangi dan
memberikan pelayanan bagi anak tunalaras. Factor-faktor penyebab tunalaras
dapat dikategorikan menjadi dua bagian, yaitu factor internal dan eksternal.
1. Faktor Internal
Faktor internal adalah factor yang
langsung berkaitan dengan individu itu sendiri seperti:
a. Keturunan
Keturunan memberikan banyak bukti
bayi yang dilahirkan dalam keadaan abnormal berasal dari keturunan yang
abnormal pula. Keabnormalan perilaku menyimpang yang dilakukan oleh orang
tuanya memberikan konstribusi ketunalarasan kepada generasi berikutnya.
Beberapa perilaku menyimpang tersebut diantaranya kawin sedarah, seks maniak,
alkoholisme, kleptomania, gangguan kepribadian, dan lain-lain.[4]
b. Psikologis
Meier dalam penelitiannya,
menghubungkan antara variabel frustasi dengan perilaku abnormal memperoleh
kesimpulan bahwa seorang yang mengalami kesulitan memecahkan persoalan akan
menimbulkan perasaan frustasi. Akiat frustasi tersebut akan timbul konflik
kejiwaan. Bagi individu yang memiliki stabilitas kepribadian yang baik, konflik
psikologis tersebut dapat diselesaikan dengan baik.
Bagi mereka yang memiliki kepribadian
neurotik, konflik tersebut tidak dapat diselesaikan dengan baik. Akibatnya,
timbul perilaku menyimpsng sebagai defence
mechanism. Perilaku-perilaku tersebut diantaranya agresivisme (suka
memberontak, mencela, memukul, merusak), regresivisme (perilaku yang kekanak
-kanakan), resignation (perilaku yang kehilangan arah karena ketidak
mampuan mewujudkan keinginannya karena tekanan otoritas).[5]
c. Kondisi Fisik
Menurut Gunzburg menyimpulkan bahwa
disfungsi kelenjar endokrin merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan.
Kelenjar endokrin ini mengeluarkan hormon yang mempengaruhi tenaga seseorang.
Bila terus-menerus fungsinya mengalami gangguan, maka dapat berakibat
terganggunya perkembangan fisik dan mental seseorang sehingga akan berpengaruh
terhadap perkembangan wataknya.
Kondisi fisik ini dapat berupa
kelainan atau kecacatan baik tubuh maupun sensoris yang dapat mempengaruhi
perilaku seseorang. Kecacatan yang dialami seseorang mengakibatkan timbulnya
keterbatasan dalam memenuhi kebutuhan baik berupa kebutuhan fisik-biologis
maupun kebutuhan psikisnya.
d. Masalah Perkembangan
Erikson menjelaskan bahwa setiap
memasuki fase perkembangan baru, individu dihadapkan pada berbagai tantangan
atau krisis emosi. Anak biasanya dapat mengatasi krisis emosi ini jika pada
dirinya tumbuh kemampuan baru yang berasal dari adanya proses kematangan yang
menyertai perkembangan. Apabila ego dapat mengatasi mengatasi krisis ini, maka
perkembangan ego yang matang akan terjadi sehingga individu dapat mnyesuaikan
diri dengan lingkungannya. Sebaliknya apabila individu tidak berhasil menyelesaikan
masalah tersebut maka akan menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku.
Konflik emosi ini terutama terjadi pada masa kanak-kanak dan pubertas.
Adapun ciri yang menonjol pada masa
kritis ini adalah sikap menentang dan keras kepala. Kecenderungan ini disebabkan
oleh karena anak yang sedang menemukan ‘aku’-nya. Anak jadi marasa tidak puas
dengan otoritas lingkungan sehingga timbul gejolak emosi yang meledak-ledak,
misalnya: marah, menentang, memberontak, dan keras kepala.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal ialah factor yang
berasal dari luar individu itu sendiri, seperti:
a. Keluarga
Keluarga adalah peletak dasar
perasaan aman (emitional security) pada anak, dalam keluarga pula anak
memperoleh pengalaman pertama mengenai perasaan dan sikap sosial. Lingkungan
keluarga yang tidak mampu memberikan dasar perasaan aman dan dasar untuk
perkembangan sosial dapat menimbulkan gangguan emosi dan tingkah laku pada
anak. Faktor yang terdapat dalam keluarga yang berkaitan dengan ganguan emosi
dan tingkah laku, diantaranya yaitu: kurangnya Kasih sayang dan perhatian orang
tua, kurangnya keharmonisan dalam keluarga, dan ekonomi yang tidak baik.
b. Sekolah
Sekolah merupakan tempat pendidikan
yang kedua bagi anak setelah keluarga. Tanggung jawab sekolah tidak hanya sekedar
membekali anak didik dengan sejumlah ilmu pengetahuan, tetapi sekolah juga
bertanggung jawab membina kepribadian anak didik sehingga menjadi individu
dewasa yang bertanggung jawab baik terhadap dirinya sendiri maupun terhadap
masyarakat yang lebih luas. Akan tetapi sekolah tidak jarang menjadi penyebab
timbulnya gangguan tingkah laku pada anak akibat hubungan sosial guru dan murid
yang krang harmonis, tuntutan kurikulum yang tidak sesuai dengan tingkat
perkembangan anak, hubungan antarteman sebaya yang kurang baik.
c. Masyarakat
Menurut Bandura, salah satu hal yang
nampak mempengaruhi pola perilaku anak dalam lingkungan sosial adalah
keteladanan, yaitu menirukan perilaku orang lain. Disamping pengaruh-pengaruh
yang bersifat positif, di dalam lingkungan masyarakat juga terdapat banyak
sumber yang merupakan pengaruh negatif ditambah hiburan yang tidak sesuai
dengan perkembangan jiwa anak merupakan sumber terjadinya kelainan tingkah
laku. Hal ini terutama terjadi di kota-kota besar dimana berbagai fasilitas tontonan
dan hiburan yang tak tersaring oleh budaya lokal.[6]
C. Cirri-Ciri Anak Tunalaras
Berikut ini beberapa cirri dari anak yang menderita
tunalaras:
1.
Berani
melanggar aturan yang berlaku/ melanggar norma susila/ norma sosial/ norma
hukum
2.
Mudah
emosi atau mudah terangsang emosinya (emosional)/ mudah marah
3.
Sering
melakukan tindakan agresif, merusak, mengganggu[7]
4.
Cenderung
pembangkang
5.
Sering
bolos dan cenderung prestasi belajar dan motivasinya rendah.
6.
Pendendam
7.
Over
sensitive(rendah diri yang berlebihan, mudah tertekan, menarik diri dari
pergaulan)
8.
Suka
mencela, dan
9.
Sering
berkelahi atau bentrokan[8]
D. Klasifikasi Anak Tunalaras
Secara garis besar anak tunalaras
dapat diklasifikasikan menjadi anak yang mengalami kesulitan dalam menysuaikan
diri dan anak yang mengalami kesulitam dalam penyelesaian sosial.
- Anak yang mengalami kesulitan dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungan sosial:
a. The
Semi-socialize child, anak yang termasuk dalam kelompok ini
dapat mengadakan hubungan sosial tetapi terbatas pada lingkungan tertentu.
Misalnya: keluarga dan kelompoknya. Keadaan seperti ini datang dari lingkungan
yang menganut norma-norma tersendiri, yang mana norma tersebut bertentangan
dengan norma yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian anak selalu merasakan
ada suatu masalah dengan lingkungan di luar kelompoknya.
b. Children
arrested at a primitive level of socialization,
anak pada kelompok ini dalam perkembangan sosialnya, berhenti pada level atau
tingkatan yang rendah. Mereka adalah anak yang tidak pernah mendapat bimbingan
kearah sikap sosial yang benar dan telantar dari pendidikan, sehingga ia
melakukan apa saja yang dikehendakinya. Hal ini disebabkan karena tidak adanya
perhatian dari orang tua yang mengakibatkan perilaku anak di kelompok ini
cenderung dikuasai oleh dorongan nafsu saja. Meskipun demikian mereka masih
dapat memberikan respon pada perlakuan yang ramah.
c. Children
with minimum socialization capacity, anak kelompok ini
tidak mempunyai kemampuan sama sekali untuk belajar sikap-sikap sosial. Ini
disebabkan oleh pembawaan/kelainan atau anak tidak pernah mengenal hubungan
kasih sayang sehingga anak pada golongan ini banyak bersikap apatis dan egois.
- Anak yang mengalami gangguan emosi,
terdiri dari:
a.
neurotic behavior,
anak pada kelompok ini masih bisa bergaul dengan orang lain akan tetapi mereka
mempunyai masalah pribadi yang tidak mampu diselesaikannya. Mereka sering dan
mudah dihinggapi perasaan sakit hati,
perasaan cemas,
marah,
agresif
dan perasaan bersalah. Di samping itu kadang mereka melakukan tindakan lain
seperti mencuri
dan bermusuhan. Anak seperti ini biasanya dapat dibantu dengan terapi seorang konselor.
Keadaan neurotik ini biasanya disebabkan oleh sikap keluarga yang menolak atau
sebaliknya, terlalu memanjakan anak serta pengaruh pendidikan yaitu karena
kesalahan pengajaran atau juga adanya kesulitan belajar yang berat.
b.
children with psychotic processes,
anak pada kelompok ini mengalami gangguan yang paling berat sehingga memerlukan
penanganan yang lebih khusus. Mereka sudah menyimpang dari kehidupan yang
nyata, sudah tidak memiliki kesadaran diri serta tidak memiliki identitas diri.
Adanya ketidaksadaran ini disebabkan oleh gangguan pada sistem syaraf
sebagai akibat dari keracunan, misalnya minuman keras
dan obat-obatan.[9]
E. Pendidikan Anak Tunalaras
Bentuk
pendidikan anak
berkebutuhan khusus tunalaras dapat diselenggarakan di SLB
khusus untuk anak tunalaras yaitu
(SLB-E). Dalam pelaksanaannya, macam-macam bentuk penyelenggaraan pendidikan
anak berkebutuhan tunalaras atau gangguan emosi dan perilaku adalah sebagai
berikut.
- Penyelenggaraan bimbingan serta
penyuluhan di sekolah regular. Misalnya saja di sekolah regular terdapat
murid atau anak yang menunjukan gejala kenakalan ringan atau gangguan
emosi maka para pembimbingharus segera memperbaikinya. Mereka masih tetap
tinggal di sekolah tersebut bersama-sama dengan kawannya di kelas, namun
anak tunalaras tersebut akan perhatian dan juga layanan khusus.
- Menyediakan kelas khusus bagi anak
berkebutuhan khusus tunalaras jika mereka perlu belajar terpisah dari
teman-temannya satu kelas. Kemudian, pembimbing dapat mempelajari
gejala-gejala gangguan emosi maupun gangguan perilaku yang dialami anak.
Kelas khusus tersebut ada pada setiap sekolah dan juga masih merupakan
bagian dari sekolah tersebut. Kelas khusus bagi anak tunalaras tersebut
dipegang oleh seorang pendidik dengan latar belakang PLB atau pembimbing
maupun penyuluh yaitu seorang guru yang cakap dan mampu mendidik anak
berkebutuhan khusus tunalaras.
- Sekolah Luar Biasa (SLB) bagian
tunalaras tanpa asrama yang ditujukan untuk anak berkebutuhan khusus
tunalaras yang proses belajarnya perlu dipisahkan dengan teman yang
lainnya karena gangguan emosi dan gangguan perilaku yang dialaminya sudah
cukup berat atau bahkan merugikan teman seusianya.
- Sekolah dengan asrama. Sekolah ini
ditujukan bagi anak berkebutuhan khusus yang kenakalannya sudah terlampau
berat, sehingga mereka harus dipisahkan dengan teman maupun orangtua
mereka. Oleh sebab itulah mereka harus dikirim ke asrama untuk mendapatkan
pendidikan. Hal ini juga bermaksud agar anak secara kontinyu bisa terus
mendapatkan pendidikan dan bimbingan. Adanya asrama untuk anak
berkebutuhan khusus tunalaras adalah sebagai keperluan penyuluhan.
Tujuan
diselenggarakannya pendidikan bagi anak tunalaras adalah untuk membantu anak
berkebutuhan khusus tunalaras agar mampu mengembangkan sikap, pengetahuan serta
keterampilan sebagai pribadi ataupun anggota masyarakat dalam menggalakkan
hubungan timbale balik antara lingkungan sosial budaya maupun lingkungan.[10]
[1] https://id.wikipedia.org/wiki/Tunalaras
[2]
Mohammad effendi, pengantar psikopedagogik anak berkelainan. 2009. PT Bumi
Aksara. Jakarta, h. 143
[3] http://anandapriadmajha.blogspot.co.id/2013/05/pengertian-anak-tuna-laras.html
[4]
Mohammad Efendi. Pengantar Psikopedagogik….h. 148
[5]
Ibid,.. h. 149
[6] http://windaeka-k5113078-plbuns13.blogspot.co.id/2013/11/faktor-faktor-penyebab-ketunalarasan.html
[7] Aqila
Smart. Anak Cacat Bukan Kiamat. 2010. Katahati. Yogyakarta.
[8]
Mohammad Efendi. Pengantar Psikopedagogik….h. 160
[9]
Ibid,..h. 53-55
[10] https://bisamandiri.com/blog/2014/11/pendidikan-khusus-untuk-anak-tunalaras
No comments:
Post a Comment